Anya membanting pintu kamarnya keras-keras. Gadis 16 tahun ini marah, marah karena ayahnya menolak membelikan dia handphone blackberry yang baru. Ayahnya beralasan blackberry Anya yang lama masih sangat bagus dan layak pakai, rusakpun tidak. Karena itu sekarang ia bersungut-sungut didalam kamarnya. “Huuhhhh, ayah pelit! Apa sih sulitnya membelikan handphone baru untukku? BB-ku yang sekarangkan sudah kuno,” umpatnya kesal sambil melemparkan badannya ke atas kasur. Dengan muka ditekuk dan bibir cemberut, ia mengambil handphone yang tergeletak diatas kasur dan kemudian menelepon sahabatnya sejak kecil, Edo.
“EDDOOOOOO!” panggil Anya dengan keras.
“Ishhh apaan sih. Berisik tau !” sahut Edo kesal.
“Bete do, jalan yuk!” ajak Anya merajuk.
“Bete kenapa?”
“Makanya ayo jalan, nanti baru diceritain.”
“Mmhhh mau jalan kemana emang ?”
“Blok S aja lah, lagi badmood nih, pengen hunting makanan jadinya.”
“Gendut!”
“Iihhhh biarin sih doooo.... Mau nemenin gak sih ini sebenernya?”
“Iya iya bawel.”
“Yaudah jemput ya ! Hehehe...”
“Oke!”
“Sipp, I’ll be waiting for you edo. Muaachhhh” canda Anya manja.
Sekitar setengah jam kemudian, Edo muncul di rumah Anya dan kemudian pergilah mereka menuju blok S. Sembari makan mereka melanjutkan obrolan mereka yang belum tuntas tadi.
“Jadi lo lagi kenapa nih nya ceritanya ?” tanya Edo membuka pembicaraan.
“Bete sama ayah !” jawab Anya singkat.
“Kenapa ?”
“Ayah gak mau beliin aku BB yang baru do, kan sebel.”
“Emang BB lo yang sekarang kenapa ? Rusak ?”
“Gak kok. Tapi kan udah kuno do, malu sama teman-teman sekolah kalo gak up to date !”
“Lah lah lah jadi mau ganti handphone cuma karena alasan childish kaya gitu ?”
“Ih kok childish sih ? Wajar kan aku minta ganti BB buat ngejaga eksistensi kita didunia luar.” Sanggah Anya cepat
“Eksistensi kok dijaga dengan BB terbaru ! Sempit banget nya pikiran lo nya.”
“Sempit gimana ?”
Tepat pada saat itu seorang pengamen cilik menghampiri mereka. Wajahnya kotor karena debu, pakaiannya sudah tidak layak pakai. Lalu anak itu mulai bernyanyi. Setelah itu Edo memberikannya uang Rp 5000,00. Wajah anak itu terlihat sangat sumringah bahagia saat menerima uang pemberian Edo. Setelah menerima dan mengucapkan terima kasih, ia kemudian pergi dengan senyum merekah.
“Nah nya coba lo liat anak itu. Dia berusaha ngejaga eksistensinya didunia dengan kerja banting tulang dari kecil. Supaya dia bisa tetep hidup, bisa makan. Sedangkan lo malah berusaha ngejaga eksistensi lo dengan cara mau ngikutin tren ganti BB terbaru cuma biar gak kalah pamer sama temen-temen pergaulan lo. Miris gak sih ? Sama-sama berusaha ngejaga eksistensi tapi beda jauh pemahaman tentang eksistensi dan caranya,” Jelas Edo panjang lebar.
“Jadi maksudnya aku gak usah ganti handphone gitu ?”
“Aduh anyaaaa, lemot banget sih. Gini loh, gue gak pernah bilang gitu. Tapi adakalanya lah kita harus bisa ngeliat segala sesuatu berdasarkan skala prioritas kita. Segitu pentingnyakah buat lo ganti HP sekarang disaat HP lo yang sekarang masih bagus ? Padahal duitnya bisa jauh lebih bermanfaat kalau digunain buat hal-hal lain, kaya buat nolong anak-anak dijalanan biar bisa sekolah. Ya kan ?”
“Heemmmmm iya juga ya. Edo pinter deh. Anya jadi gak enak hati udah egois gini, cuma demi ngejaga keeksisan di mata temen-temen Anya.”
“Nah jadi sekarang masih mau ribut-ribut ganti HP ?”
“Enggak !” jawab Anya mantap.
“Nah gitu dong, kan enak gak ngambek-ngambekkan terus.” Balas Edo sambil mengelus kepala Anya.
“Yaudah sekarang anterin aku pulang dong Edo.” Pinta Anya.
“Lah mau ngapain ?”
“Mau minta maaf sama ayah. Malu tadi udah ngambek kaya anak kecil.”
“Ciyeee jadi udah dewasa nih sekarang ceritanya ?”
“Ehehehe kan berkat ceramahan Edo. Ayo yuk pulang !”
“Yuuukkkkk,” Jawab Edo
Hari ini Anya belajar satu hal. Bahwa benda bagus bukanlah solusi untuk menjaga eksistensi dirinya didunia luar. Ia berjalan cepat, tidak sabar untuk cepat pulang dan meminta maaf pada ayahnya karena sikap kekanak-kanakkannya tadi siang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar